[16/2 22.19] Dasim KDKW: Bupati ke-13: Pangeran Sekartandjung.
Raden Haryo Balewot kemudian digantikan putera sulungnya bernama Pangeran Sekartandjung. Adipati ke-13 ini mengalami nasib tragis karena meninggal di tangan saudara kandungnya yaitu Pangeran Ngangsar.
Pada waktu Pangeran Sekar Tanjung Sholat Jum’at di masjid dalam posisi rukuk Pangeran Sekar Tanjung ditikam dari belakang oleh adiknya sendiri yaitu Pangeran Ngangsar. Pangeran Ngangsar dalam mimpinya mendapat wasiat maka dengan senjata keris yang bernama “Kyai Layon” ditikamlah Pangeran Sekar Tanjung.
Pangeran Sekar Tanjung menjadi adipati selama ±22 tahun. Pangeran Sekartandjung dikarunia dua putera yaitu Pangeran Haryo Permalat dan Haryo Salempe. Namun, pada waktu ayahnya meninggal dunia keduanya masih kecil/ masih muda.
Bupati ke-14: Pangeran Ngangsar
Setelah berhasil membunuh saudaranya, Pangeran Ngangsar menjadi adipati Tuban ke-14. Lama pemerintahannya hanya ± 7 tahun.
Bupati ke-15: Pangeran Haryo Permalat
Sepeninggal Pangeran Ngangsar, penggantinya adalah Pangeran Haryo Permalat. Adipati Tuban ke-15 ini adalah menantu Sultan Pajang, Raden Djaka Tingkir. Pangeran Haryo Permalat memang berseteru dengan Penguasa Mataram yaitu Panembahan Senapati. Selama pemerintahannya, Tuban pernah diserang oleh Mataram yaitu pada tahun 1598 dan 1599. Namun, serangan-serangan Mataram itu gagal karena Tuban pada waktu itu mempunyai pertahanan sangat kuat. Lama pemerintahannya ± 38 tahun. Beliau mempunyai seorang putera bernama Pangeran Dalem.
Bupati ke-16: Haryo Salempe
Ketika Pangeran Haryo Permalat mangkat, yang menggantikannya adalah Haryo Salempe yang juga putera dari adipati ke-13. Hal ini disebabkan, Pangeran Dalem masih kecil. Lama pemerintahannya ± 38 tahun.
Bupati ke-17: Pangeran Dalem(1614-1619)
Berakhirnya pemerintahan Adipati Haryo Salempe, yang menggantikannya adalah Pangeran Dalem. Pada tahun 1619, Tuban diserang oleh Mataram. Terjadi pertempuran sengit yang mengakibatkan Benteng Kumbakarna jatuh ke tangan musuh. Siasat penyusupan kekuatan Mataram ke dalam tubuh pemerintahan Tuban berbuah kemenangan Mataram atas Tuban. Hal ini mengakibatkan Pangeran Dalem harus menyingkir ke Bawean. Istri Pangeran Dalem bernama Kumalarena juga meninggal di Bawean.
Sepeninggal istrinya, Pangeran Dalem menuju ke Rajekwesi, Bojonegoro sampai mangkat dan dimakamkan di Kadipaten, Bojonegoro. Mengapa Pangeran Dalem justru menuju ke Bojonegoro yang begitu dekat dengan Tuban? Ternyata salah satu alasan yang masuk akal adalah karena Pangeran Dalem mempunyai saudara bernama R. Ayu Djamus yang sangat berpengaruh di Bedander, Bojonegoro.
Makam Buyut Dalem berada di dalam sebuah cungkup yang terawat dengan baik. Namun, di samping makam utama tersebut bersemayam pula seorang tokoh wanita pujaan hati Buyut Dalem bernama Srihuning yang mendapat julukan Mustika Tuban karena semangatnya “labuh tresna sabaya pati”.
Bersumber dari keterangan pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Bojonegoro dan dua orang juru kunci makam Buyut Dalem, “Di makam ini selalu diadakan semacam sedekah bumi yaitu jatuh pada setiap hari Rabu Wage, bulan September. Kegiatan ritual ini diawali pada hari Rabu Pahing dengan “mayu alang-alang” yaitu mengganti atap cungkup yang terbuat dari alang-alang. Selain itu juga dilakukan penggantian pasir yang ada di dalam makam.”
Di dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Bojonegoro (2003:20) dijelaskan: “Payon cungkup saka makam Pangeran Dalem saben tahun ajeg didandani (saka alang-alang), nanging sing ngerjakake sawijinging nom-noman lan kudu kramas dhisik. Sing ngresiki platarane kudu tandhak, nanging ora oleh diganggu.” Artinya: “Atap cungkup dari makam Pangeran Dalem setiap tahun selalu diganti baru (dari alang-alang), namun yang mengerjakan adalah seorang pemuda dan harus keramas terlebih dahulu. Yang membersihkan pelatarannya harus seorang tandak, akan tetapi dia tidak boleh diganggu.”
Kegiatan ritual utama jatuh pada hari Rabu Wage. Kegiatan yang dilakukan adalah sedekah bumi dengan menggelar uyon-uyon dan langen tayub di sekitar makam.
Bupati ke-18: Pangeran Podjok
Terusirnya Pangeran Dalem dari singgasana Kadipaten Tuban menandai pergantian garis keturunan penguasa Tuban yakni dari garis keturunan Kyai Ageng Papringan ke tangan garis keturunan Mataram.
Siapa sebenarnya Pangeran Podjok itu?
Menurut H. Abdul Sarpin, Ketua Yayasan Sunan Podjok, “Pangeran Podjok menurut Mbah Sabib, Menganti, Bugel, Jepara mempunyai nama kecil Benun. Ia juga dikenal dengan nama Syekh Abdul Rachim. Setelah meninggal baru dijuluki dengan nama Pangeran Podjok. Alasannya karena meninggal di Desa Podjok, Blora.”
Gatot Pranoto, S.E., ketua Yayasan Mahameru yang juga tokoh sejarawan Blora dengan merujuk Babad Mentawis menerangkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) mempunyai semacam skala prioritas antara lain Kadipaten Tuban yang selama ini menjadi batu ganjalan bagi Mataram harus segera ditakhlukkan. Oleh karena itu, Sultan Agung mengeluarkan “Kekancing” (semacam surat perintah tugas) kepada Benun yang saat itu menjabat sebagai Surobahu; setingkat dengan tumenggung. Inti dari “Kekancing” itu adalah tugas untuk memadamkan pemberontakan Tuban.
Misi dari Surobahu Abdul Rachim ternyata berhasil dengan baik (1619). Pergantian penguasa di Tuban ini tentunya menempatkan Surobahu Abdul Rachim untuk menjaga stabilitas Tuban. Adipati Tuban ke-18 ini menjalankan tugasnya ± 42 tahun.
Menurut R. Soeparmo (1972:85) “Pada hari grebeg maulud tahun Dal semua bupati di seluruh tanah Jawa datang ke Mataram untuk menghadap Sri Sultan. Demikian pula halnya dengan bupati Pangeran Podjok. Tetapi ketika perjalanan beliau menuju Mataram sampai Blora, beliau mendadak sakit dan mangkat di situ juga.”
Menurut Asmoengin TA., Kasi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Blora (1982:25) “Pangeran Surobahu Abdul Rachim adalah perwira dari Mataram yang berhasil memadamkan kerusuhan di pesisir utara (Tuban). Sepulang dari Tuban di perjalanan jatuh sakit dan meninggal dunia di Desa Pojok (Blora). Oleh putranya dipindahkan di tempat yang sekarang.”
Pada waktu berziarah ke makam tersebut, tim penggali sejarah mendapatkan fakta bahwa di kompleks Makam Gedong/Pagedongan yang terletak di Kauman, sebelah selatan alun-alun Kota Blora bersemayam antara lain: 1. Pangeran Surobahu Abdul Rachim, 2. Pangeran Joyodipo (putra Pangeran Surobahu Abdul Rachim yang juga Bupati Blora I), 3. Joyodiwiryo (adipati Blora), 4. Pangeran Joyokusuma (adipati Blora), Istri Pangeran Joyokusuma dan kerabat kadipaten lainnya.
Bupati ke-19: Pangeran Anom
Setelah Pangeran Podjok meninggal, yang menggantikan adalah adiknya bernama Pangeran Anom. Lama pemerintahannya ± 12 tahun. Beliau diberhentikan dari jabatan adipati Tuban atas perintah Sultan Agung Mataram.
Menurut R. Soeparmo (1972:84) di Kabupaten Tuban untuk sementara waktu jabatan bupati ditiadakan. Konsekuensinya, Tuban diberikan semacam perwakilan yang disebut dengan istilah “Umbul” (setingkat kademangan) sebanyak empat orang yaitu:
1) Umbul Wongsoprodjo yang ditempatkan di Jenu
2) Umbul Wongsohito yang ditempatkan di Gesikharjo (Palang)
3) Umbul Wongsotjokro yang ditempatkan di Kidul Ngardi (Sebelah selatan gunung = Rengel)
4) Umbul Joedoputro yang ditempatkan di Singgahan.
Bupati ke-20: Arya Balabar
Adipati Tuban ke-20 adalah Arya Balabar atau Arya Blender yang juga berasal dari keturunan Mataram. Lama pemerintahannya ± 39 tahun. Salah satu yang dilakukan pada waktu memerintah di Tuban adalah membuat masjid terletak sebelah barat makam Sunan Bonang.
Bupati ke-21: Pangeran Soedjonopuro
Setelah Pangeran Arya Balabar mangkat, penggantinya adalah Pangeran Soedjonopuro yang semula menjabat Bupati Japanan (Mojokerto). Lama pemerintahannya ± 10 tahun sampai beliau wafat.
Bupati ke-22: Pangeran Joedonegoro
Pengganti Pangeran Soedjonopuro adalah puteranya yaitu Pangeran Joedonegoro. Lama pemerintahannya ± 15 tahun.
Bupati ke-23: Raden Arya Surodiningrat
Pangeran Joedonegoro setelah wafat yang menggantikan menjadi Bupati adalah Raden Aryo Surodiningrat yang berasal dari Pekalongan. Pada waktu memerintah, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh R. Arya Diposono. Pemberontakan ini dibantu oleh orang Madura bernama “Kyai Mangundjojo“. Raden Aryo Surodiningrat tewas dalam peperangan. Lama pemerintahannya ± 12 tahun.
Bupati ke-24: Raden Aryo Diposono
Raden Arya Surodiningrat yang gugur di medan pertempuran melawan pemberontak, akhirnya digantikan oleh Raden Aryo Diposono. Tercatat dalam sejarah, waktu memegang pemerintahan terjadi pertempuran dengan orang-orang Madura yang dahulu mendukungnya. Pertempuran itu terjadi di Desa Singkul atau Sedayu. Raden Aryo Diposono juga gugur dalam medan pertempuran. Lama pemerintahannya ± 16 tahun.
Bupati ke-25: Kyai Reksonegoro
Jabatan adipati Tuban berikutnya digantikan oleh Patih Kyai Reksonegoro. Setelah menjabat adipati bergelar Kyai Tumenggung Tjokronegoro. R. Soeparmo (1972:86) memberikan penjelasan bahwa pada tahun 1773 Gubernur Van der Burgh mengusulkan kepada Sultan Agung Mataram agar bupati Tuban dipecat karena kebijakan pemerintahannya memberatkan penduduk dan tidak dapat memenuhi tugasnya yaitu membayar upeti kepada Belanda. Lama pemerintahan Kyai Tumenggung Tjokronegoro ± 47 tahun.
Bupati ke-26: Kyai Poerwonegoro
Sepeninggal Kyai Reksonegoro, penggantinya adalah puteranya yaitu Kyai Poerwonegoro. Setelah memerintah selama ± 24 tahun, beliau menderita sakit dan mengambil perlop atau cuti. Oleh karena itu, beliau terkenal dengan sebutan Bupati Perlop.
Bupati ke-27: Kyai Lieder Soerodinegoro
Pengganti Kyai Poerwonegoro adalah Kyai Lieder Soerodinegoro. Lama pemerintahannya hanya ± 3 tahun.
Bupati ke-28: Raden Poerjoadiwidjojo
Setelah Kyai Lieder Soerodinegoro mangkat, yang menggantikan sebagai adipati Tuban adalah puteranya Raden Poerjoadiwidjojo atau Raden Tumenggung Soerojodinegoro . Lama pemerintahannya ± 12 tahun. Setelah itu beliau berhenti dari jabatan bupati.
Bupati ke-29: Pangeran Tjitrosomo VI (1800-1836)
Ketika Raden Poerjoadiwidjojo berhenti dari jabatan adipati Tuban yang menggantikan adalah Pangeran Tjitrosomo VI dari Jepara. Tim penggali sejarah mendapatkan kesempatan untuk melacak silsilah Pangeran Tjitrosomo di Jepara. Atas bantuan Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan Kabupaten Jepara, tim penggali berhasil bertemu dengan salah satu keturunan Tjitrosomo. Beliau bernama Raden Moeh Akrom Wijanarko yang tinggal di Purwogondo, Kecamatan Pecangakan, Jepara. Bukti bahwa beliau keturunan Tjitrosomo adalah dengan diperolehnya Piagam Mangkunegaran, Surakarta tertanggal 13 Juni 1988. Bersumber dari data koleksi pribadi yang dibukukan dalam Silsilah Citrosoman inilah tim penggali sejarah mendapatkan sumber yang sangat berharga.
Siapakah sebenarnya Pangeran Tjitrosomo VI itu?
Pangeran Tjitrosomo VI adalah putra ke-8 dari R.M.A.A. Citrosomo V, Bupati Jepara yang semula menjadi bupati di Kudus dengan nama dan gelar R.M.A.A. Mangkuwidjojo. Nama asli dari Tjitrosomo VI adalah R.M.Ng. Notowidjoyo I. Sepeninggal ayahnya, beliau menggantikan kedudukan sebagai adipati Jepara. Beliau kemudian ditugaskan untuk menjadi adipati Tuban. Jasanya selama memerintah di Tuban adalah membangun rumah kabupaten pada tahun 1821 yang menjadi tempat kediaman bupati sampai sekarang.
Setelah memerintah selama ± 6 tahun, beliau dipindahkan ke Lasem. Masa pemerintahannya di Lasem berjalan ± 3 tahun dan akhirnya kembali menjadi adipati Jepara dalam masa Perang Diponegoro (1825-1850). Pada makam beliau yang terletak di Desa Sendang, Kecamatan Kalinyamatan, Jepara tertulis masa pemerintahannya di Jepara yaitu tahun 1800-1836.
Kirim Komentar
NamaNo. Hp
[17/2 04.02] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ 21: Nuwun Sewu ... 🧘♂️🙏😔💥⭐
*Adipati* tidak sama dg *Bupati.*
Jabatan *Adipati* mulai diketahui dipakai semenjak periode ISLAAM dalam sejarah raja-raja di Jawa.
Di zaman Kerajaan Hindhu-Budha namanya bukan *Adipati* tetapi *Bhre*, misalnya : Bhre Kahuripan, Bhre Singosari, Bhre Wengker.
*Adipati* memimpin *Pemerintahsn Kadipaten* & memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada *Bupati* yg memimpin *Kabupaten dan hanya 1 Kabupaten.*
Suatu *Kadipaten* dapat memiliki *Beberapa Kabupaten.*
Biasanya *Kadipaten* yg memimpin/ membawahi *Beberapa Kabupaten* diberi nama *Kadipaten Agung* yg dipimpin oleh seorang *Adipati Agung*.
Seorang *Adipati Agung* lebih tinggi kedudukannya dg posisi di bawah Raja/Ratu daripada seorang *Adipati*, tetapi berada di bawahnya *Pangeran.*
*Kadipaten* membawahi *Kademangan* yg dipimpin oleh seorang *Demang.*
*Kademangan* membawahi *Kelurahan* yg dipimpin oleh seorang *Lurah.*
Jikalau diurutkan 💥👇⭐ :
*Raja/Ratu - Kerajaan*
⬇️
*Pangeran - Kerajaan*
⬇️
*Adipati. Agung - Kadipaten Agung*
⬇️
*Adipati - Kadipaten*
⬇️
*Demang - Kademangan*
⬇️
*Lurah - Kelurahan*
Selanjutnya, nama *Adipati* ditinggalkan sejak lahirnya *Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 17-8-1945.*
Sejak 17-8-1945 hingga kini, Nama *Adipati* berganti nama menjadi *Bupati* dg memimpin/membawahi *Wilayah 1 Kabupaten*
*Kabupaten* yg dipimpin oleh seorang *Bupati* membawahi *Kawedanan* yg dipimpin oleh seorang *Wedono* yg kini berubah membawahi *Kecamatan* yg dipimpin oleh seorang *Camat.*
Kecamatan membawahi :
1. *Desa* yg dipimpin oleh seorang *Kepala Desa/Petinggi.*
2. *Kelurahan* yg dipimpin oleh seorang *Lurah*.
Jikalau diurutkan 💥👇⭐ :
*Bupati - Kabupaten*
⬇️
*Wedono - Kawedanan*
⬇️
*Camat - Kecamatan*
⬇️
*Kepala Desa/Petinggi - Desa*
&
*Lurah - Kelurahan*
Kini *Kawedanan* dihulangkan ... Melaaasss dech 🧘♂️😢🙏💥⭐
[17/2 05.14] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ 21: Trah Adipati Tuban Pertama sebelum Era Mojopahit yakni Raden Aryo Sandang Wacono (Ki Ageng Papringan) yg dzurriyyahnya tidak keluar dari Bumi Tuban hanya bertahan hingga *16 Generasi Adipati.*
Bilamana dihitung dari Adipati Pertama Tuban Raden Aryo Adhikoro Ronggolawe Era Mojopahit, maka dzurriyahnya yg tidak keluar dari Bumi Tuban hanya bertahan di *15 Generasi Adipati.*
Adapun Dzurriyyah Eyang Aryo Dandang Wacono dan Aryo Adhikoro Ronggolawe yg keluar dari Bumi Tuban tersebar lewat :
1. Dzurriyyah Eyang Sayyid Jumaadil Kubroo hingga muncul Generasi Wali Songo Era Sunan Ampel.
Isteri I Eyang Sunan Ampel :
Eyang Nyai Ageng Manilo Condrowati binti Eyang Adipati Tuban WILWOTIKTO II (SAYYID 'ABDUR ROHMAAN AL ABBAASYII)
Eyang Nyai Kariimah binti Sunan Bungkul Surabaya.
2. Kesultanan ISLAAM Demak Bintoro *Eyang Raden Fattaah bin Eyang Prabu Brawijoyo V & Eyang Dewi Murthosimah binti Eyang Sunan Ampel*.
3. Kesultanan Pajang Eyang Mas Karebet Haadiiwijoyo bin Eyang Kebo Kenongo + Eyang Puteri ... (Dzurriyyah Sunan Giri, wa Qiila Sunan Kalijogo, Sunan Ampel) & Eyang Cempoko/ Condrowulan binti Eyang Sultan Trenggono bin Sultan Fattaah bin Prabu Brawijoyo V + Eyang Permaisuri Dewi Murthosimah binti Sunan Ampel.
4. Kesultanan MATARAM ISLAAM dan Pecahannya : Kasunanan, Kasultanan, Paku Buwonoan, Paku Alaman.
Dzurriyah mereka kenyataannya saling bunuh, bahkan ada yg menjadi Raja Pembantai Kelas Berat, ada yg minggat gak kembali, ada yg ngungsi jauh gak kembali, ada yg murni Da'wah gak pernah kembali dan bermacam-macam Kisah tragis memuluskan dan memalukan.
*_Namun ternyata pula di kemudian hari, Dzurriyyah Mereka saling menikah ... hingga ada yg menulis dan membaca tulisan Ini ... 🧘♂️😭🙏🇲🇨🕋❤️⭐_*
YAA ALLOOH SWT ... Ampunilah Kami, Orang Tua Kami, Seluruh Kakek Nenek Kami, Seluruh Leluhur Kami, dan Seluruh Kaum Muslimiin Muslimaat baik yg masih hidup maupun yg sudah wafat.
*_الله اكبر_*
*_إمين أمين أمين يا رب العالمين يا مجيب السائلين 🧘♂️😭🙏☝️👍✋🕋💥⭐_*
No comments:
Post a Comment